berpikir membuat saya jadi lucu

Ribut Wijoto

Tanoker, Pada Mulanya adalah Egrang

Posted by Ribut Wijoto pada 22 Februari 2016

tanoker 1

 Surabaya (beritajatim.com) – Pada mulanya adalah egrang. Permainan dengan menggunakan dua batang bambu yang diberi pijakan. Sepintas tampak udik (ndeso) dan ketinggalan zaman. Tapi, anak-anak desa Ledokombo mampu mengubahnya menjadi karya besar. Menumbuhkan mimpi sekaligus merealisasikannya. Bersama egrang, anak-anak Ledokombo bisa melanglang buana menembus batas provinsi dan negara. Egrang sukses menjadi titik tumpu gerakan kebudayaan.

 

Siang yang sedikit gerah, di ruangan sekitar 6 x 8 meter, dua anak kecil tampak asyik bermain musik. Abubakar Sidik, usia 9 tahun dan masih kelas 3 SD. Siti Nur Lia usia 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD. Beberapa kali keduanya berhenti menabuh alat musik, tampaknya ada kesalahan ketukan sehingga tidak klop, lalu senyum berbarengan.

 

Sidik mengaku giat berlatih karena hendak pentas keluar negeri. “Tapi tidak tahu kapan. Sekarang belum bisa. Makanya harus latihan dulu,” ujar Sidik kepada rombongan wartawan dan pegawai Dinas Kebudayaan dan Periwisata Jatim saat berkunjung ke Tanoker, di desa Ledokombo, kecamatan Ledokombo, kabupaten Jember, Sabtu (14/11/2015). Mendengar penuturan Sidik, Lia hanya tersimpul sedikit malu.

 

Sembari sesekali kedua tangannya menabuh kendang, Sidik bercerita kalau dia tidak berasal dari Ledokombo. Rumahnya berjarak sekitar 6 kilometer. Bersama Lia yang masih bertetangga, mereka datang diantar orangtunya.

 

“Sebenarnya latihan masih nanti sore. Tapi saya senang di Tanoker. Di sini bisa main-main dan belajar. Latihannya juga menyenangkan,” kata Sidik.

 

Di ruangan dengan dua pintu lebar tersebut memang terdapat rak buku besar, semacam perpustakaan. Ada ratusan buku anak di situ. Kalau bosan menunggu latihan egrang, selain bermain musik sendiri, Sidik dan Lia lalu membaca buku.

 

Beberapa kali dia bercerita tentang keinginannya berangkat keluar negeri. Naik pesawat dan bisa melihat desanya dari atas langit. Makanya, dia giat berlatih bahkan sering datang ke Tanoker lebih awal. Tujuannya agar segera bisa terpilih untuk berangkat keluar negeri.

 

Mimpi. Impian pergi keluar negeri tampaknya menjadi salah satu daya tarik anak untuk belajar di Tanoker. Jarak luar negeri dengan Ledokombo sepertinya bisa diperpendek dengan permainan egrang.

 

Tapi memang, Tanoker membuktikan mampu merealisasikan mimpi anak-anak Ledokombo untuk pergi keluar negeri. Berbekal permainan egrang dengan paduan musik dan tarian, anggota Tanoker pernah diundang dua kali ke Canberra, Australia, yaitu 28 Oktober 2011
dan 1 November 2011.

 

Pernah pula diundang ke Thailand. Ketika itu, Tanoker diundang mengisi acara ICAAP 11 (International Conggres on Aids in Asia Pacific) tanggal 19 – 22 N0v 2013. Selama di Thailand, anak-anak dari Ledokombo tampil dalam 3 pementasan berkolaborasi dengan pemusik dan penari dari berbagai negara, antara lain Jepang, Australia, Tonga, Malaysia, China, Thailand, Bangladesh, Singapura, Samoa. Mreka juga mengajari anak-anak Thailand bermain egrang.

 

Permainan egrang kerap pula mengantarkan anak-anak Tanoker terlibat pada kegiatan bertaraf internasional. Misalnya ajang Global Youth Festival dan Sarasehan Budaya Universitas Ma Chung Malang (Juli 2012), acara Menari dan Menyanyi di Youth Cultural Night Konferensi Asia Pasifik Tentang Reproduksi di Yogyakarta (Oktober 2011), acara “Youth Preneurship Summit” tingkat ASIA (Ashoka) di Jakarta (Desember 2010), dan banyak lagi.

 

Tampil membawakan permainan egrang di hadapan banyak orang, dimuat di surat kabar, tampil di televisi; kesemuanya sudah menjadi hal ihwal biasa bagi anak-anak yang tergabung di Tanoker. Bahkan sineas top sekelas Garin Nugroho tergerak untuk membuat film khusus kegiatan Tanoker.

 

Di markas Tanoker sendiri, tamu-tamu datang silih berganti. Mulai dari warga Jember sendiri, warga Malang, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, luar pulau Jawa, hinggga wisatawan atau peneliti dari luar negeri. Tanoker yang menempati lereng bukit seluas 4 hektare sukses memperkenalkan Ledokombo ke tataran nasional dan internasional.

 

Sempat Dikira Stres

 

Bagaimanakah asal mula Tanoker? Komunitas ini didirikan oleh Suporahardjo (anak-anak biasa memanggil dengan sebutan Lik Hang) dengan istrinya Farha Ciciek. Ketika itu tahun 2009, pasangan ini hidup di Jakarta dan telah memiliki dua anak, Mokhsa Imanahatu Atolu yang waktu itu masih berusia 12 tahun dan Zen Zerozona yang waktu itu masih berusia 7 tahun. Tiba-tiba, mereka merasa berkewajiban pulang kembali ke kampung halaman karena ibu kandung Supo telah tua dan butuh perawatan.

 

Bagi keluarga yang cukup lama tinggal di Jakarta, dengan segala kemegahannya, pilihan pulang ke Ledokombo yang dikelilingi bukit tentu saja bukan perkara mudah. “Anak saya semula tampak keberatan. Dia tanya-tanya, apakah di Ledokombo ada AC (air conditioning)? Karena di daerah perbukitan dingin, ya saya jawab, AC ada, malahan banyak sekali,” tutur Supo yang kelahiran asli Jember, 9 Juli 1963.

 

Keluarga kecil itu pun pindah. Menjalani kehidupan baru di sebuah desa terpencil, berjarak 35 kilometer dari pusat kota Jember. Kecamatan Ledokombo saat ini memiliki jumlah penduduk sekitar 62.300 jiwa. Oleh sebab wilayah perbukitan, mayoritas penduduk bermata-pencaharian sebagai buruh tani. Sisanya pedagang kecil, kerja serabutan pegawai negeri dan pegawai swasta.

 

Pendapatan sebagai petani dan buruh tani tentu saja cukup rendah. Maka, banyak penduduk Ledokombo yang memilih pergi keluar negeri menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia). Negara tujuannya terdiri dari Timur Tengah, Malaysia, Singapore, Taiwan dan Hongkong. Kabupaten Jember memang merupakan salah satu kantong pengiriman (sending area) migrant workers (buruh migran, TKW/TKI) di Jatim.

 

“Suatu ketika anak saya tanya tentang perrmainan saya waktu kecil. Saya jawab, saya biasa main egrang. Ternyata dia penasaran. Lalu saya dan anak saya bikin. Setelah dicoba, dia suka. Jadilah kami tiap hari bermain egrang. Beberapa anak tetangga ikut juga,” kenang Supo.

 

Di lain waktu, Ciciek yang kelahiran Ambon, 26 Juni 1963, ini penasaran dengan teman anaknya yang telah bermain lama tetapi tidak pernah dicari oleh orang tuanya. Usut punya usut, si anak tersebut ternyata ditinggal pergi orang tuanya keluar negeri sebagai TKI. Sehari-hari, si anak dititipkan pada neneknya. Kalau si nenek sedang sibuk, dia dititipkan pada tetangga.

 

Penelusuran Ciciek dan Supo lebih lanjut, gejala penelantaran anak ternyata sangat banyak terjadi di Ledokombo. Dan sebagai pasangan yang lama malang melintang di ranah riset dan pengabdian masyarakat, Ciciek dan Supo berusaha mencari jalan keluar terhadap problem sosial tersebut.

 

Sekadar diketahui, walau berambut gondrong dan kelihatan kurang rapi, Suporahardjo adalah doktor jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Masa studi strata satunya diselesaikan di Universitas Gajah Mada (UGM ) Yogyakarta dengan mengambil jurusan Manajemen Hutan lalu magister di FISIP UI dengan perminatan Manajemen Pembangunan Sosial. Selain kuliah, Supo aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM ) Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN).

 

Adapun Farha Ciciek juga bukan wanita sembarangan. Dia pernah terpilih sebagai satu dari 1.000 Peace Women 2005 dan dinominasikan untuk hadiah Nobel Perdamaian. Ciciek juga tercata sebagai salah satu pendiri dan menjadi pembina AIDA (Aliansi Indonesia Damai), mantan direktur Rahima (Pusat Pendidikan dan Publikasi Islam dan Hak Perempuan).

 

Setelah berembug lama, pilihan jatuh pada egrang. Supo dan Ciciek berencana mengubah pola pikir masyarakat sekaligus mengangkat martabat Ledokombo. “Perubahan bisa dari mana saja. Juga dari desa. Perubahan yang dimotori oleh anak-anak. Permainan egrang adalah sebuah alat perubahan sosial. Karena bermain itu tidak main-main,” tutur Supo.

 

Maka, Supo dan Ciciek mulailah mengumpulkan anak-anak desa Ledokombo. Utamanya anak-anak yang telah ditinggal orang tua bekerja di luar negeri. Untuk menumbuhkan minat, Supo mengadakan lomba kecil-kecilan. Juara pertama diberi hadiah uang Rp 5 ribu. “Lama-kelamaan anak-anak senang, gembira. Dengan pengarahan Ciciek, mereka lalu sepakat memberi nama komunitas egrang dengan sebutan Tanoker, sebuah istilah bahasa Madura yang artinya kepompong,” tutur Supo.

 

Pada masa-masa awal Tanoker, dukungan dari warga sangat rendah. Banyak warga yang tidak memahami rencana dan kegiatan dari permainan egrang. Selama bulan Juli sampai Agustus 2009, warga hanya melihat anak-anak yang bermain egrang di halaman belakang rumah Supo yang berupa tanah lapang dan perbukitan. Warga lebih heran lagi, sejak bulan Oktober 2009, anak-anak bermain egrang dengan cara keliling di jalanan. Tidak hanya egrang, beberapa anak lain mengiringi dengan tetabuhan. Sedangkan Supo sibuk berlarian mengatur barisan dan komposisi, kadang di depan anak-anak, kadang mengikuti dari belakang.

 

“Saya malah dikira orang stres. Bagaimana tidak, masih dengan baju kucel, rambut awut-awutan belum mandi, saya mengikuti anak-anak bermain egrang di jalanan. Tapi pelan-pelan, warga memahami bahwa membuat anak-anak gembira merupakan suatu hal yang penting,” ujarnya.

 

Juri Kelas Internasional

 

Pandangan masyarakat benar-benar berubah setelah Supo dan anak-anak mengadakan Festival Egrang I pada bulan Agustus 2010. Festival ini berlangsung meriah. Anak-anak memakai kostum beraneka ragam. Mereka mempertunjukkan berbagai atraksi permainan egrang. Masyarakat pun terhibur dan senang. Terlebih, kegiatan tersebut mendapat apresiasi dari media massa.

 

“Biasanya Ledokombo masuk koran itu kalau ada peristiwa kriminal. Tapi ini berbeda, Ledokombo masuk koran berkat anak-anak yang bermain egrang,” kata Supo.

 

Tanoker juga memiliki satu cara lain untuk menarik minat masyarakat terhadap Festival Egrang. Strategi tersebut berupa penggunaan juri yang berasal dari warga negara lain. Sebagai orang yang berlatar belakang aktivis, Supo dan Ciciek tidak kesulitan mencari warga asing. “Kita memanfaatkan teman-teman peneliti yang kebetulan berada di Indonesia. Kita minta mereka menjadi juri festival. Terlebih, setelah mengetahui keberadaan Tanoker, mereka menaruh simpati yang cukup tinggi,” tutur Supo.

 

Keberadaan warga asing sebagai juri ternyata efektif untuk menumbuhkan daya tarik Festival Egrang. “Di sini kan desa terpencil, warga masih mudah kagum dengan hal-hal yang berbau luar negeri. Makanya sejak pertama festival sampai sekarang, kita selalu menggunakan juri dari luar negeri. Berdampingan dengan juri lokal. Tidak hanya soal egrang, kita pernah ajak bule untuk ikut pertandingan bola di Ledokombo. Berkat adanya bule tersebut, warga yang datang untuk menonton sepakbola sampai 5 ribu orang,” katanya.

 

Sejak itu, Tanoker berkembang pesat. Banyak orang tua yang secara sukarela mendaftarkan anaknya untuk mengikuti kegitan di Tanoker. “Anak-anak kian sering diundang datang untuk mengikuti kegiatan di luar Jember. Jumlah pemberitaan media massa terhadap kegiatan Tanoker juga semakin banyak. Anak-anak senang bisa bepergian keluar kota. Orang tuanya juga turut senang. Ledokombo pun mulai dikenal di mana-mana,” papar Supo.

 

Tidak hanya anak-anak bepergian, orang-orang luar Jember pun banyak yang mulai berdatangan ke Tanoker. Bermacam-macam kepentingannya, mereka ada yang hanya ingin tahu lebih dekat, ada yang ingin melakukan penelitian, ada wartawan yang datang untuk liputan, banyak pula yang ingin belajar egrang, dan lain sebagainya.

 

“Kadang sampai ada yang menginap di sini tiga atau tujuh hari. Kepada mereka, kita tidak hanya mengajari bermain egrang. Kita juga meminta mereka berbagi ilmu. Mengajari anak-anak Tanoker dengan kemampuan yang dimiliki oleh tamu. Model bagi-bagi ilmu ini cukup efektif untuk mengembangkan Tanoker. Ada tamu yang mengajari tari, mengajari musik, dan lain-lain,” kata Supo.

 

Sukses di tahun pertama, Festival Egrang berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Tercatat Festival Egrang II digelar bulan Juli 2011, Festival Egrang III dilaksanakan pada bulan Juli 2012, Festival Egrang IV bulan Agustus 2013, dan Festival Egrang V pada bulan Agustus 2014.

 

Dari tahun ke tahun, Festival Egrang juga kian semarak. Pola gerakan bertambah beragam, atraksi-atraksi dipertontonkan, warna-warni kreasi desain kostum, dan dibumbui musik yang rancak. Oleh sebab egrang merupakan permainan tradisional yang umum di Jawa, tidak hanya di Ledokombo, Festival Egrang lantas kedatangan peserta dari luar Jember pula. “Kita tidak selalu jadi juara. Pernah juga juara pertama diraih kelompok dari Yogyakarta. Meski sebatas juara 2, anak-anak tidak kecewa. Mereka justru senang karena ada kelompok dari daerah lain yang mengembangkan egrang. Anak-anak juga tertantang untuk terus mengeksplorasi kreasi-kreasi baru,” kata Supo.

 

Mengapa egrang bisa dicintai anak-anak dan sukses dikembangkan dalam bentuk-bentuk kekinian? Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Pariwisata Dra. Rosmiati MM memiliki jawabannya. “Egrang ini selain permainan untuk senang-senang, dia juga mengandung nilai-nilai filosofi yang menguatkan karakter anak. Misalnya kreativitas, sportivitas, kerja sama. Untuk bisa mahir main egrang juga tidak mudah, ini penuh tantangan. Permainan egrang membutuhkan kesimbangan. Sehingga, anak-anak tertantang untuk menguasai,” papar Rosmiati.

 

Egrang sebagai Gerakan Kebudayaan

 

Bermula dari egrang, Tanoker lantas berkembang memasuki ranah lain. Seperti bola salju yang terus bergulir dan semakin membesar, egrang bukan lagi sebatas permainan anak-anak. Egrang menumbuhkan geliat di sektor wisata, ekonomi, kreativitas, dan sikap mental masyarakat.

 

Aktivitas Komunitas Tanoker menunjukkan bahwa kebudayaan bukanlah dipahami sebagai kata benda. Kebudayaan merupakan kata kerja. Ignas Kleden dalam majalah Prisma (no 1 tahun 1985) menjelaskan, sebagai kata benda, kebudayaan realitas yang sudah diciptakan, sudah dihasilkan, sudah terbentuk, atau sudah dilembagakan. Adapun sebagai kata kerja, kebudayaan adalah bahan yang harus dirumuskan kembali, tingkah laku harus disesuaikan kembali, dan manusia harus menumbuhkan daya cipta.

 

Sebelum ada Tanoker, dalam pengertian konvensional, egrang adalah permainan anak-anak yang memanfaatkan batang bambu sepanjang sekitar 2,5 meter. Pada bagian bawah bambu, kira-kira 50 sentimeter dari bawah, dibuat tempat berpijak kaki yang rata dengan lebar kurang lebih 20 sentimeter. Permainan egrang cukup dilakukan dengan jalan mondar mandir.

 

Tetapi, Tanoker tidak hanya terpaku pada tradisi masa silam. Anak-anak Tanoker merumuskan kembali egrang. Permainan egrang dipadukan dengan tarian, dengan musik, dan dengan teatrikal. Lebih jauh lagi, anak-anak Tanoker pernah mengadakan lomba makan krupuk di atas egrang. Pernah pula mengadakan lomba pidato di atas egrang. Anak-anak Tanoker membuat bentuk egrang bergeser jauh dibanding egrang dalam tradisi di masa silam.

 

“Dengan sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya. Sesuatu yang telah ‘mati suri’ dihidupkan, dirayakan. Sesuatu yang ‘masa lampau’ menjadi masa kini dan masa depan,” kata Supo mengenai spirit aktivitas anak-anak Tanoker.

 

Mengapa anak-anak Tanoker bisa sangat mudah melakukan kreasi atas egrang? Bisa jadi, itu karena anak-anak Tanoker yang lahir besar di Ledokombo (baca: Jember) merupakan bagian dari masyarakat Pendalungan. Masyarakat yang terbentuk dari perpaduan budaya Jawa dan budaya Madura.

 

Pengamat kebudayaan Hary Yuswadi kepada beritajatim.com pernah memaparkan ciri umum masyarakat Pendalungan. Pertama, masyarakatnya cenderung bersifat terbuka dan mudah beradaptasi. Kedua, sebagian besar lebih bersifat ekspresif, cenderung keras, temperamental, transparan, dan tidak suka basa-basi.

 

Ciri keterbukaan dan ekspresif itulah yang membuat anak-anak Tanoker sukses mengubah dan mengembang tradisi permainan egrang. Mereka tanpa beban bisa melekatkan hal-hal baru dalam egrang. Mengombinasikan dengan permainan lain.

 

Saat ini, anak-anak Tanoker sukse mengubah egrang menjadi seperti pusat kebudayaan Ledokombo. Bagaimana tidak, hampir seluruh anak-anak di Ledokombo sangat akrab dengan permainan egrang. Bahkan masuk ke wilayah pendidikan. “Beberapa sekolah di sini menjadikan permainan egrang sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Sehingga pihak sekolah mewajibkan siswanya untuk bisa bermain egrang,” kata Supo.

 

Egrang juga menjadi andalan wisata Ledokombo. Di sektor ini, egrang tidak berdiri sendiri. Sebagai ‘kawan’ egrang, Tanoker menciptakan permainan lain yang sesuai dengan geografis Ledokombo. Permainan tersebut dinamai polo air.

 

Sesuai dengan namanya, permainan ini memang merujuk pada olahraga polo air. Hanya saja, permainan tidak digelar di kolam renang seperti umumnya. Komunitas Tanoker menciptakan polo air yang dimainkan di sawah penuh lumpur.

 

Komitmen Sosial Tanoker

 

Usaha komunitas Tanoker di bidang pariwisata tampaknya memang digarap secara serius, terukur, dan terancana. Suporahardjo mengungkapkan bahwa Tanoker sejak awal dibentuk dalam rangka menyelamatkan masa depan anak-anak Ledokombo yang ditinggalkan oleh orang tua pergi menjadi TKI. Pada tahap selanjutnya, Tanoker dimaksudkan sebagai lokomotif perubahan. Adapun salah jalan merealisasikan perubahan adalah dengan memaksimalkan sektor pariwisata.

 

“Anak-anak Tanoker akan memandu Ledokombo yang ‘lemes’ menjadi wilayah bergerak, menuju wilayah untuk semua. Sebuah desa dunia dengan merayakan keberagaman,” tutur Supo.

 

Pria yang walau gondrong tetapi berwajah lembut ini meyakini, usaha maksimal dari sektor wisata bisa mendorong pertumbuhan ekonomi penduduk. Jika sektor wisata sukses, ujung-ujungnya juga bakal mendatangkan rezeki bagai masyarakat sekitar. Untuk itu, Supo bersama komunitas Tanoker berusaha sekuat tenaga menciptakan infrastruktur bagi pelayanan wisatawan.

 

“Bagi tamu atau wisatawan yang ingin menginap di Ledokombo, kami sudah menyiapkan penginapan berkonsep homestay. Ada 28 unit homestay yang memiliki 70 kamar dan bisa menampung 200 orang. Kita juga sudah mengedukasi penduduk tentang cara menghadapi wisatawan,” kata Supo.

 

Selain untuk melayani wisatawan, keberadaan homestay juga untuk menambah pendapatan penduduk. Pendapatan dari uang sewa maupun penjualan jasa lainnya.

 

Komunitas Tanoker juga menyediakan pernik-pernik yang bisa dipakai oleh-oleh wisatawan. “Di dekat pintu masuk Tanoker saja, kita sudah mendirikan toko asesoris. Itu seluruhnya dikerjakan oleh warga Ledokombo. Ibu-ibu yang membuat kerajinan tersebut, mereka rata-rata mendapat pemasukan antara Rp 700 ribu sampai Rp 900 ribu. Jika sedang datang pesanan banyak, pendapatan mereka juga bertambah banyak,” papar Supo.

 

Ditambahkan oleh Supo, permintaan terhadap pernik-pernik ciptaan warga terus meningkat. Peningkatan selaras dengan kenaikan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Ledokombo. Itu bisa terjadi karena pernik-pernik tersebut banyak berhubungan dengan aktivitas Tanoker.

 

“Misalnya boneka dan dompet, itu terinspirasi dari permainan egrang Tanoker. Ada sekitar 30 ibu-ibu yang mengerjakan,” katanya.

 

Tanoker juga memanfaatkan media internet. Melalui laman tanoker.org, semua kegiatan dan produk Tanoker bisa diakses secara mudah.

 

Supo menceritakan, Lois Jeans Indonesia pernah pula memesan 500 dompet hasil karya Tanoker. Pesanan dalam jumlah banyak biasanya datang instansi atau lembaga pendidikan. Jumlahnya sampai ribuan. “Kami juga rajin mengikuti pameran. Di sana kita memajang dokumentasi kegiatan Tanoker. Selain itu, hasil kerajinan ibu-ibu juga kita jual,” katanya.

 

Sejak awal, menurut Supo, Tanoker selalu membangun sinergi dengan program Pemerintah Kabupaten Jember. Makanya, Tanoker kerap mendapatkan bantuan berupa informasi dan fasilitas dari pemerintah. Pemkab Jember juga mendorong Ledokombo menjadi kawasan wisata.

 

Terlebih, Pemkab Jember saat ini memang tengah gencar sektor pariwisata. “Kita masih tahap persiapan, belum sampai pada promosi besar-besaran. Kalau belum apa-apa sudah promosi, kami takut wisatawan justru kecewa. Makanya, kita identifikasi dulu potensi dan kendalanya. Kita perbaiki infrastrukturnya. Targetnya semua sudah kelar pada tahun 2017,” kata Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Jember Sandi Suwardi Hasan.

 

Sejalan dengan program Pemkab Jember, komunitas Tanoker juga terus berbenah. Saat ini, meskipun belum banyak, dari tahun ke tahun, jumlah wisatawan yang datang ke Tanoker kian bertambah. Puncak kedatangan wisatawan biasanya ketika digelar Festival Egrang. Tidak hanya wisawatan lokal Nusantara, mereka juga datang dari berbagai negara, seperti Australia, Malaysia, Thailand, dan negara tetangga lainnya.

 

Hanya saja, Suporahardjo tetap berpegang pada prinsip bahwa Tanoker maupun Ledokombo bukanlah obyek wisata. “Kita ingin menjadi subyek wisata. Wisatawan datang ke Tanoker untuk belajar bersama. Mereka belajar pada kita dan kita belajar pada mereka. Kita menciptakan mimpi buat anak-anak sekaligus kita merealisasikan mimpi tersebut,” katanya.

 

Secara berimbang, komunis Tanoker berusaha mendatangkan dan memberi pelayanan terhadap wisatan. Di sisi lain, komunitas Tanoker mengenalkan tradisi dan budaya Ledokombo ke skala nasional bahkan internasional. “Walau kita di Ledokombo, di daerah terpencil, anak-anak Tanoker bisa berhubungan dengan kawan-kawan dari perkotaan, kawan-kawan dari luar negeri. Saling berbagi dan belajar bersama,” tandas Suporahardjo. [but]

 

Tinggalkan komentar