berpikir membuat saya jadi lucu

Ribut Wijoto

Komunitas Teater Konsep

Posted by Ribut Wijoto pada 19 April 2021

Teater. Ya, dalam bentuk verbalnya, teater adalah sebuah dunia yang luar biasa. Ia sekaligus menyandang bentuk sastra, lukis, musik, arsitektur, pencahayaan, keaktoran. Maka menjadi aneh bila didapati kenyataan bahwa pembicaraan teater dalam dunia seni maupun sastra lebih sepi dibanding perbicangan bentuk-bentuk seni lain, terutama puisi.

Menulis esai tentang teater, kita bisa berpijak pada kebebasan aras. Dengan kebebasan kriterium. Kita bisa memakai kriterium sastra, seni rupa, maupun seni musik. Parsial atau sekaligus. Semua boleh, asal mengacu kepada panggung.

Panggung, memang di sinilah inti dari teater. Peristiwa dalam durasi terbatas dengan jadwal terbatas.

Panggung adalah aktualitas. Menempati ruang tertentu, waktu tertentu. Kerapkali, panggung tidak mudah untuk diulang. Dua pementasan dari naskah serupa oleh kelompok teater serupa, sangat mungkin memiliki signifikansi perbedaan yang tajam.

Maka, peristiwa di atas panggung, itulah tanda. Butuh penafsiran, bisa ditafsirkan, dan perlu diseret dalam ranah permainan tafsir.

Kita tahu, tafsir tanda tidak selalu berhubungan dengan maksud penulis naskah atau sutradara. Kerja tafsir adalah kerja logika. Sejauh ia memiliki sandaran logika, apapun klaim yang disodorkan adalah logis, masuk akal, menjadi jawaban atas peristiwa pangung.

Sekali lagi: Esai teater berpijak pada peristiwa panggung. Karena panggung adalah tanda. Sedang esai adalah tafsir.

Menulis esai teater, idealnya mengungkapkan keseluruhan aspek dari panggung. Ya musiknya, keaktorannya, settingnya, lampu, penyutradaraan, naskah, teknik vokal, ritme permainan, durasi, blocking. Kesemuanya ditafsirkan sebagai suatu keutuhan makna. Pengejawantahan kompleksitas kehidupan.

Tapi, sungguh, itu amat susah.

Kemutlakkan amatlah mustahil. Toh, penulis esai adalah orang biasa, orang-orang terbatas. Yang lebih mungkin adalah konsentrasi, fokus, pada aspek tertentu. Dari aspek tertentu, kita olah-bangkitkan, kita tafsir-maknakan, kita klaim baik-buruknya, dan kita catat dalam bentuk tulisan. Tulisan esai teater.

Semisal olah lampu. Sebuah teater tentu tidak memakai lampu sebatas menerangi panggung. Lebih dari itu, peran lampu adalah peran artistik. Ia mengkombinasikan aspek ruang dan lukis. Lebih dari itu, kerapkali panggung menyuguhkan demonstrasi lampu yang menggugah imajinasi, fantasi, kekosongan, dan metafor. Maka, itu layak ditulis.

Begitu pula setting. Tumpukan benda-benda pada panggung merupakan tumpukan tanda. Ia butuh ditafsirkan. Dimaknai. Pasalnya, dia mewakili suatu bentuk seni. Paling dekat, kita bisa pergunakan prinsip-prinsip dalam seni rupa maupun arsitektural. Tapi tentu saja berbeda, karena peristiwa panggung lebih kompleks dibanding seni rupa maupun seni arsitektur.

Yang tidak kalah penting adalah keaktoran. Kerapkali, evaluasi panggung hanya terbatas pada keberhasilan para aktor dalam menjalani adegan. Semisal, aktor bernama ini, vokalnya kurang bagus. Tiap kali berkata-kata, suku kata terakhirnya hilang. Atau, ada aktor lain, -agar suaranya terdengar lantang- dia lebih tampak berteriak-teriak daripada menampilkan kesan berbincang-bincang.

Pada esai, catatan evaluasi keaktoran tersebut sah-sah saja. Jika dikemas secara apik dan kematangan teoretis, akan menghasilkan esai bermutu. Yang pasti, esai teater bisa berpijak pada fokus apa saja. Asal menarik.

Yah, sebuah esai musti menarik. Mengapa. Pasalnya esai adalah tulisan pendek. Semisal di koran, mungkin antara 3 sampai 7 halaman A4 spasi 2. Tulisan sependek itu, mana cukup untuk kompleksitas peristiwa panggung dengan paduan kompleksitas teori. Makanya, esai musti menarik.

Lebih dari menarik, esai musti nakal, cerdas, menggoda, terkesan gawat, sekaligus bertanggung jawab, terkesan penting –mungkin juga memang amat penting. Tentang gaya penulisan esai yang menurut saya layak dijadikan acuan pertimbangan adalah esai-esai Goenawan Mohamad di Catatan Pinggir. Semuanya pendek-pendek tapi amat inspiratif, nakal, enak dibaca, dan perlu.

Agar bisa menulis esai yang nakal, kita setidak-tidaknya membutuhkan tiga modal. Data, wacana, dan perspektif.

Data, jelas, yakni peristiwa panggung. Segala hal yang ada di panggung adalah data. Menulis esai teater tanpa data peristiwa panggung, sepertinya kurang berpijak. Bagi yang kerap melihat pertunjukan teater, tentu data-data akan berlimpah. Semisal membahas pertunjukkan tertentu, dia bisa mengkomparasikan dengan pertunjukkan-pertunjukkan lain yang mungkin sama atau mungkin malah bertentangan. Kesemuanya menentukan kekayaan tulisan esai teater.

Tapi, satu peristiwa panggung juga tidak apa. Yang terpenting, berlepotan dengan tafsir. Satu adegan, semisal aktor mengkerutkan kening, dibaca dengan beragam tafsir. Kesejarahan kerutan manusia, model-model kerutan antarbenua, antarkultur, antarkepentingan. Itu cukup berbobot. Asal wacananya tebal.

Juga perspektif. Penulis esai teater itu memiliki pandangan yang lebih tajam dibanding mata penonton biasa. Lebih tajam dibanding sutradara. Suatu adegan yang dibidik oleh kerja tafsir dari penulis esai, bisa jadi, bukanlah fokus utama dari kerja kreatif sutradara. Namun begitu, ketika operasional kerja tafsir telah menunjukkan ketajamannya, adegan yang semula tampak sepele tersebut menjadi seakan menentukan keseluruhan peristiwa panggung. Karena mata penulis esai adalah mata yang tajam, kadangkala, nakal. Anda tentu tahu, kenakalan yang dibumbui oleh proporsionalitas teori dan wacana, adalah kenakalan yang inspiratif. Menarik untuk dibaca. Dan, itulah dunia esai.

Sebuah dunia yang tidak berusaha mengukuhkan kebenaran paten. Lebih sering, esai menggulirkan kebenaran-kebenaran sementara. Kebenaran yang mengundang perdebatan. Ini berbeda dengan makalah tugas kuliah ataupun laporan penelitian. Esai itu, yang terpenting menarik untuk dibaca. Semakin nakal, menggoda, akan semakin baik.

Banyak yang luput dari tulisan saya. Salah satunya adalah peristiwa di luar panggung. Esai teater juga boleh menuliskan hal ihwal luar panggung. Mungkin, peristiwa luar panggung sama pentingnya dengan peristiwa di atas panggung. Toh, panggung hanyalah satu kala yang amat terbatas. Waktu yang lebih lama dan membutuhkan keringat lebih banyak ada pada saat latihan, yang sering musti berulang-ulang, diulang-ulang, berlarat-larat, macet, bentrok antaraktor, gonta-ganti casting.

Ada banyak luar panggung yang bisa ditulis. Ada perihal naskah, peta teater kampus, gosip proses kreatif, kemandegan dewan kesenian, perihal lebih majunya teater kampus dibanding teater umum, perihal sponsor, workshop teater yang sia-sia, persoalan rendahnya minat mahasiswa terhadap teater, perihal kebiasaan menentang arus politik, arus agama, perihal aliran-aliran teater, teori-teori keaktoran. Kesemuanya layak untuk ditulis dalam bentuk esai teater.

Posted in Tidak Dikategorikan | Leave a Comment »